header

Selasa, 04 Desember 2012

Rasisme dalam Olahraga

|


PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Manusia terlahir di bumi ini terdari dari bermacam-macam suku bangsa, agama, ras, budaya. Keragaman itu merupakan karunia yang sangat indah dari Tuhan YME. Dikatakan karunia terindah karena dengnan keragaman itu manusia dapat mengenal berbagai budaya, agama, dan yang lainnya, sehingga dalam menjalani hidup manusia mempunyai banyak variasi yang dapat mengakibatkan manusia tidak mudah bosan dalam menjalani hidup. Dapat dibayangkan jika manusia di dunia ini hanya terdiri dari satu suku bangsa saja, atau satu agama saja, atau satu ras saja, maka manusia hidup tidak mempunyai variasi yang akhirnya menimbulkan kebosanan. Dapat diibaratkan jika setiap hari hanya makan lauk tempe, maka suatu saat pada puncaknya akan mengalami kebosanan karena tidak ada variasi.
Tetapi kenyataannya keragaman suku bangsa, agama, ras, maupun budaya itu sekarang justru menimbulkan suatu perpecahan. Perpecahan yang timbul itu diakibatkan oleh rasisme. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sehingga manusia selalu menganggap golongan, kelompok, agama, ataupun rasnya lah yang paling benar, yang paling berkuasa, dan lain-lain, dan yang lain itu paling rendah. Yang dianggap paling rendah kemudian memberontak, ataupun menunjukkan jika dirinya bukanlah yang paling rendah melainkan yang paling tinggi. Hal demikian yang dapat menyebabkan adanya suatu perpecahan, oleh sebab itu rasisme dikatakan suatu pelanggaran yang cukup serius, sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus lagi.
Dalam dunia olahraga banyak sekai terjadi, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Misalnya pemain kulit hitam diteriaki superter bagaikan monyet, dan lain-lain. Hal ini dapat mengganggu jalannya pertandingan dan juga dapat merusak sportivitas.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1.      Apakah definisi dari olahraga?
2.      Apakah definisi dari rasisme?
3.      Bagaimanakah sejarah rasisme?
4.      Bagaimanakah rasisme terjadi dalam dunia olahraga (sepakbola)?
5.      Bagaimanakah hukuman bagi pelaku rasisme dalam dunia olahraga (sepakbola)?
C.    Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat ditarik suatu tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.      untuk mengetahui definisi dari olahraga,
2.      untuk mengetahui definisi dari rasisme,
3.      untuk mengetahui sejarah rasisme,
4.      untuk mengetahui rasisme terjadi dalam dunia olahraga (sepakbola),
5.      untuk mengatahui hukuman bagi pelaku rasisme dalam dunia olahraga (sepakbola).
PEMBAHASAN


A.    Definisi Olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980)  yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat).
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik;  a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.
Arti olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga rohani, dan bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya.

B.     Definisi Rasisme
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.

Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata Rasis : 1. berdasarkan (bersifat), ciri-ciri fisik, suku bangsa, bangsa dsb (seperti, warna kulit, rambut dll.) 2. berdasarkan ras tertentu.
Rasialisme adalah : 1. Prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelah thd (suku) bangsa yang berbeda-beda). 2. Paham bahwa ras diri sendiri yang paling unggul.
Dalam kamus Webster kata Rasisme didefinisikan sebagai suatu bentuk keyakinan bahwa ras adalah penentu utama karakter dan kapasitas manusia dan perbedaan rasial menentukan adanya satu superioritas bawaan dari satu ras. walau rasisme telah ada dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, tapi mungkin manifestasi terburuknya dapat kita ihat dalam sejarah Eropa dan Amerika hingga sekarang.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.
Para pemikir menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotype).
Rasis dalam pengertian pertama  adalah sesuatu yang positif secara moral untuk dianut, dan karena itu adalah sesuatu yang tidak bermoral untuk menyangkalnya, maka menyangkalnya sama dengan menyangkal kebenaran. Dengan demikian sebuah pernyataan yang benar tentang karakteristik satu ras tidak secara otomatis menjadi rasis dalam pengertian yang kedua dan bersifat immoral.
Banyak orang membingungkan kedua definisi tersebut, dan mungkin karena dipengaruhi oleh pemikir sekuler, bahkan orang percaya pun gagal untuk melihat pembedaan sederhana tersebut. Tentu saja ada banyak yang menolak pembedaan tersebut hanya karena mereka berasumsi bahwa rasisme tidak mungkin benar (bahwa satu ras tidak mungkin secara melekat superior atau inferior dibanding ras lainnya), jadi (menurut mereka) siapapun yang mengakui kepercayaan rasis melakukannya karena dia adalah rasis dalam pengertian kedua. Orang lain mengasumsikan bahwa rasisme dalam pengertian pertama tidak mungkin benar, jadi kaum rasis pada umumnya hanyalah orang yang naif. Namun demikian, tanpa alasan atau bukti bahwa rasisme dalam pengertian pertama tidak mungkin benar, pembedaan antara pengertian yang pertama harus dipertahankan, dan kita tidak dapat hanya mengasumsikan bahwa kaum rasis adalah orang yang naif.

C.    Sejarah Rasisme
Terlahir sebagai manusia dengan ciri-ciri fisik, seperti warna kulit hitam, hidung pesek, dan rambut keriting haruslah diakui bukan sebagai satu kesalahan atau "dosa turunan". Manusia mana pun tak pernah punya pilihan ketika dilahirkan, termasuk lahir dengan kondisi "cacat secara fisik". Semua itu semata-mata merupakan takdir Tuhan. Artinya, bentuk fisik dan warna kulit manusia adalah hak prerogatif Tuhan yang tak bisa ditolak. Sebaliknya, keragaman dan perbedaan warna kulit itu harus dipahami sebagai kemajemukan ras, bukan menunjukkan satu superioritas. Sebab semua manusia diciptakan Tuhan setara dan dianugrahi hak-hak individu yang berasal dari alam dan akal.
Tetapi celah perbedaan dan keragaman itu ternyata ditafsirkan secara salah. Tak pelak, kalau dalam rentang sejarah muncul "klaim" terhadap manusia yang berkulit hitam dengan "cap" sebagai manusia yang bodoh, kurang beradab dan terbalakang. Sejarah akan pembantaian serta pembunuhan secara kejam oleh tentara Nazi Jerman terhadap orang Yahudi, juga sejarah kelam orang kulit hitam di bawah rezim rasis di Amerika Selatan pada era Jim Crow, dan di Afrika Selatan pada era rezim Apartheid setidaknya menjadi bukti sejarah gelap rasisme.
Memang, istilah rasisme itu sendiri baru pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an. Pada waktu itu istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan "teori-teori rasis" yang dipakai orang-orang Nazi melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi. Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tak ada. Telepas dari istilah rasisme yang dianggap sebagai ide modern yang khas serta tidak memiliki preseden historis, setidaknya fenomena tribalisme dan xenofobia bisa menjadi titik berangkat-meski hal itu bukanlah rasisme-dalam menelusuri jejak sejarah rasisme. Penelusuran akan jejak rasisme dalam rentang sejarah itulah yang disajikan George M Fredrickson dalam buku ini.
 Sejarah memang bukan lembaran peristiwa yang sepenuhnya suci dari bercak darah. Bahkan sejarah agama-agama, menurut Fredrickson sempat ternoda bercak rasisme yang diliputi adanya pembantain dan perang dikarenakan serpihan pemikiran akan klaim keyakinan yang dianutnya. Sikap orang-orang Kristen Eropa terhadap bangsa Yahudi yang dituduh telah membunuh Kristus dan meracuni sumber mata air untuk melenyapkan pengikut Kristus, dalam kaca mata Fredrickson adalah satu landasan bagi rasisme yang berkembang di kemudian hari.
Orang-orang Kristen-setidaknya belajar dari sejarah Islam-kemudian "mengaitkan" warna kulit dengan status perbudakan. Dari konteks itulah, orang-orang Afrika sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena kutukan (biblikal) dari dosa yang telah diperbuat Ham. Akibat dari dosa Ham itu, orang-orang Afrika diklaim telah ditakdirkan sebagai ras budak. Klaim itu anehnya terus diakui kebenarannya dan kemudian menjadi justifikasi rasisme.
Sejarah awal rasisme-sebagaimana dilacak M Fredrickson-setidaknya bisa ditelusuri dari Spanyol. Pada abad 12 sampai 13, pengikut Islam, Yahudi, dan Kristen bisa hidup berdampingan. Tapi di akhir abab 14 dan awal 15, timbulnya konflik dengan orang Moor lalu memercikkan diskriminasi terhadap Islam dan Yahudi. Di sini tampak kebencian yang bersifat sektarian lalu menjadi kebencian yang bersifat rasial dalam bentuk pengusiran. Setelah Spanyol dibersihkan dari orang-orang Yahudi dan Moor, kemudian mulai menjajah "dunia baru" (Amerika) dan menemukan jenis perbedaan baru-orang-orang primitif dan yang kurang beradab.
Pembauran dengan orang berdab itu dirasa sebagai sesuatu yang mustahil. Karena itulah, keyakinan sebagai bangsa yang unggul berkembang dengan bentuk merasialisasikan orang-orang yang tidak beradab dan terbelakang sebagai budak. Timbulnya keyakinan itu pula yang kemudian jadi sumber utama di pihak sebagian besar bangsa Jerman dengan berpandangan mustahil melakukan pembauran dengan orang Yahudi. Ketika itu, menurut M Fredrickson, rasialisme secara biologis belum diterapkan kepada bangsa Yahudi di Jerman sampai kemudian digunakan untuk merasionalisasi sikap orang Amerika terhadap orang kulit putih.
Dari pandangan itu, orang Amerika merasialkan orang lain dan menganggap dirinya paling manusiawi. Puncak supremasi kulit putih itu lalu mencapai perkembangan ideologis yang paling lengkap terjadi di Amerika Serikat bagian Selatan antara tahun 1890-an hingga 1950-an. Sementara itu, orang Jerman melengkapi dirinya sendiri dengan identitas rasial sehingga merasa perlu untuk menyingkirkan orang lain dari identitas ras unggul Kaukasia-bangsa Arya. Adapun puncak antisemitisme Jerman itu memuncak pada tahun 1933 dan 1945.
Rasisme dalam sejarahnya selalu menjadi hantu ideologi sosial yang menyebalkan dan menjijikkan, sampai sekarangpun, rasisme rasanya masih berupa ketegangan upaya dalam mengucap eksistensialitas diri dan kelompok lebih baik daripada yang lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan identitas, biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif diri sendiri. Dan parahnya itu menjadi faham, diteriakkan tanpa mempunyai rasa malu dengan membayangkan ideologi yang ada dibelakang mereka sebagai satu kekuatan superpower yang mampu meluluhlantakkan apapun yang menghalangi jalannya.
Rasisme, rasanya masih ada sampai sekarang. Semenjak era propaganda NAZI di awal tahun 1920-an sampai kini adanya kelompok haluan keras, dari suporter klub sepak bola Italia, LAZIO yang rasis dan fasis (perlanjutan dari ideologi Musollini?). Namun masih teringat ideologi politik pembedaan warna kulit yang sebenarnya amat sangat menjijikkan untuk diperhatikan. Apakah itu merupakan ucapan umum yang diklaim sebagai wakil sekelompok massa, rasa bangga terhadap wujud fisik dengan memandang orang lain lebih rendah dari dirinya dan upaya menindas bangsa lain, bahkan sampai ucapan keseharian yang jamak dilakukan dalam konteks sosial. Lihat saja, masih ada anggapan bangsa lain yang merasa dirinya lebih besar dan berhak menirukan suara kera ketika seorang pemain sepak bola berkulit hitam bertanding melawan sebuah klub sepak bola internasional, atau yang merasa berbeda dan berhak mendapat perlakuan berbeda dengan masyarakat lain hanya karena dirinya mempunyai golongan darah biru. Termasuk Ethnic Cleanse, di Afrika, Boznia dan lainnya. Bahkan adanya kepentingan yang lebih besar dengan menyelamatkan segolongan kaum kulit berwarna dibandingkan lainnya di daerah yang terkena bencana besar. Sampai bahkan ada yang mengatas namakan golongan beragama (dan notabene orang dewasa) dan merasa berhak menghancurkan sebuah sekolah dasar yang berbeda agamanya dengan mereka? Ataukah rasisme muncul dalam peraturan yang sedianya disediakan untuk kehidupan bernegara ? rasanya kengerian yang lahir dari masalah ini sudah terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk didiamkan.

D.    Rasisme dalam Olahraga (Sepakbola)
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras ( SARA ), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu jelas bermakna sangat merugikan bagi si korban. Sangat disayangkan itulah yang terjadi dalam dunia sepakbola Indonesia dan mancanegara.

·         Rasisme dalam Persepakbolaan Mancanegara
Cabang olahraga paling populer di muka bumi ini pernah dinominasikan menjadi salah satu kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2001 oleh Akademi Swedia. Menurut International Herald Tribune, sepak bola dipilih karena dinilai bisa menjembatani saling pengertian antarbudaya.
Pilihan Akademi Swedia itu sebenarnya tak keliru. Anggaran Dasar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pun telah mengasaskan hal yang sama. Menurut anggaran dasar itu, sepak bola bertekad menjadi sarana melunturkan semua prasangka. Tapi, di dunia sepak bola sendiri, cita-cita mulia itu ternyata menjadi paradoks --kalau bukan parodi-- kenyataan sehari-hari.
Stadion-stadion sepak bola di Eropa kini menjadi tempat subur bagi kebencian rasial. Kaum ekstremis berpikiran picik seolah telah berhasil meracuni penonton yang hadir. ''Wajah konyol rasisme kini muncul di semua tempat,'' kata Lennart Johansson, Presiden UEFA --Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa. ''Dan sayangnya, kita tak cukup berupaya mencegah perkembangannya.''
Sinyal yang dilontarkan Johansson bukanlah isapan jempol. Malahan, kekerasan rasisme tak cuma berhenti di dalam stadion. Pada awal 2001, di sebuah jalan kota Oslo, Norwegia, seorang pesepak bola penuh bakat berusia 15 tahun dikejar sekelompok pemuda, dan ditikam hingga mati. Benjamin Hermansen, anak muda itu, dibunuh hanya karena ia berdarah Afrika dan berani bicara menentang rasisme.
Setelah penikaman Hermansen, tak kurang dari 30.000 orang, termasuk Raja dan Perdana Menteri Norwegia, melakukan demonstrasi di jalanan kota Oslo, mengutuk penikaman itu. Terbunuhnya Hermansen membuat goyah sendi-sendi persepakbolaan Norwegia. Maklum, negeri itu tengah berharap, kehadiran pemain berdarah Afrika dan Asia bisa mengangkat prestasi tim nasionalnya.
''Kami punya dua pemain berbakat, dari Ghana dan Maroko, serta satu lagi yang lebih muda dari Pakistan,'' kata Havard Lunde, direktur marketing klub sepak bola Valerenga --klub asal Hermansen. Di sekolah sepak bola Valeranga, kini berkumpul ratusan pemain berbakat dengan 70 kebangsaan. ''Jadi, kami harus bekerja keras menentang kebencian rasial semacam ini,'' kata Havard.

Ku Klux Klan Masuk Stadion
Tak hanya masyarakat sepak bola Norwegia yang mengambil langkah. Dua pekan lalu, pada 16 Maret, England's Member Club, sebuah kelompok fans sepak bola, dinyatakan terlarang oleh Pemerintah Inggris. Kelompok dengan anggota sekitar 30.000 orang ini dinilai selalu mengampanyekan ''huliganisme'' dan rasisme setiap melawat ke luar negeri menemani tim nasional.
Pembubaran organisasi ini diputuskan oleh FA, Persatuan Sepak Bola Inggris. ''Penyalahgunaan sepak bola harus dihentikan,'' kata Adam Crozier, Chief Executive FA. Tindakan ini diambil untuk meniadakan pengaruh British National Party, Combat 18, dan unsur rasis lain yang selama ini menyusup sebagai penonton pada pertandingan-pertandingan tim nasional Inggris di luar negeri.
Inggris adalah salah satu negara Eropa yang mengalami skala kekerasan dan kebencian rasial paling tinggi. Sebuah laporan bersama Departemen Dalam Negeri dan FSA --Asosiasi Penonton Sepak Bola Inggris-- melaporkan peningkatan kultur xenofobia di kalangan penonton sepak bola Inggris. ''Mereka menunjukkan persepsi yang keliru tentang patriotisme,'' tulis laporan itu.
Paul Thomas, Koordinator Internasional FSA, misalnya, mencontohkan pertandingan persahabatan antara Inggris dan Prancis di Stade de France, September lalu. Umpatan-umpatan rasis dari penonton asal Inggris sangat mengganggu. Umpatan itu tak hanya ditujukan kepada para pemain Prancis, melainkan juga kepada pemain Inggris seperti Sol Campbell --yang kebetulan berkulit hitam.
''Level rasisme memang makin memburuk dua tahun belakangan ini,'' kata Paul Thomas. Musim gugur lalu, Andy Frain dan Jason Mariner dijatuhi hukuman penjara tujuh dan enam tahun. Aksi kampanye rasisme dua pemuda pengunjung setia pertandingan sepak bola ini tertangkap basah kamera tersembunyi. Ternyata, keduanya adalah pengurus kelompok rasis Combat 18 dan Ku Klux Klan.
Tapi ternyata bukan Inggris, melainkan Italia-lah yang dijuluki sebagai pusat kekerasan rasial sepak bola di Eropa. ''Dibandingkan dengan bagian dunia mana pun, rasanya kami memiliki stadion-stadion yang paling tak beradab dan paling tak bersahabat,'' kata Arrigo Sacchi, pelatih yang membawa Ruud Gullit dan Frank Rijkaard bermain di the dream team AC Milan.



''Monyet Hitam'' vs ''Gipsi Sialan''
Arrigo Sacchi tahu persis apa yang dialami kedua pemainnya itu. Penggemar sepak bola mana pun tahu, betapa Rijkaard dan Gullit telah menyuguhkan permainan sepak bola kelas satu kepada publik Italia. Toh, Sacchi tak habis mengerti, mengapa kedua pemain Belanda berkulit hitam asal Suriname itu masih selalu mengalami perlakuan rasis yang kasar di stadion-stadion sepak bola Italia.
''Di stadion-stadion kami, budaya olahraga nyaris tak lagi tersisa,'' kata Sacchi. Tak hanya Sacchi yang merasakan atmosfer rasisme yang buruk di stadion-stadion Italia. Persatuan Sepak Bola Inggris, FA, malah secara resmi pernah mengajukan protes keras pada UEFA, atas perlakuan yang diterima salah satu pemainnya di Stadion Delle Alpi di Turin.
Tatkala bermain dalam pertandingan persahabatan melawan tim nasional Italia, November 2000, penyerang tengah kesebelasan Inggris yang berkulit hitam, Emile Heskey, mengalami perlakuan tak mengenakkan. Sepanjang pertandingan, Heskey tak henti-henti memperoleh cemoohan rasial yang tak pantas dari para penonton. Setiap ia memperoleh umpan, sorak-sorai rasial itu malah makin membahana.
Sepekan sebelum kasus Heskey muncul ke permukaan, sebuah kasus lain yang lebih menghebohkan terjadi. Hingga usai pertandingan Liga Champions antara klub Italia, Lazio, dan klub Inggris, Arsenal, Sinisa Mihajlovic, pemain bertahan Lazio asal Yugoslavia, dan Patrick Vieira, pemain tengah Arsenal asal Prancis, terlihat masih terus saling ngotot hampir adu pukul.
Keributan yang dimulai di tengah pertandingan itu tak beroleh sanksi apa pun dari wasit. Tapi, belakangan UEFA menghukum Mihajlovic dengan larangan tampil di dua pertandingan, karena terbukti mengeluarkan hinaan rasis kepada Vieira. Kepada pers, Mihajlovic, yang separuh Serbia separuh Kroasia, mengaku mengumpati Vieira.
''Saya cuma memanggilnya black shit, dan tak memanggilnya monyet hitam,'' kata Mihajlovic. Menurut Mihajlovic, Vieira lebih dulu mengumpatnya sebagai gipsi sialan. ''Tapi, ini kan bagian dari sepak bola,'' katanya. Tak hanya Mihajlovic yang menerima sanksi: UEFA juga mendenda Lazio US$ 40.000 karena perilaku rasis pendukungnya pada pertandingan di Stadion Olimpico, Roma, itu.
Teriakan monyet ditujukan langsung terhadap para pemain sepak bola, dan sejumlah besar penggemar, khususnya di Lazio, dikaitkan dengan kelompok ultra sayap kanan. Striker Rumania dan Fiorentina Adrian Mutu, salah satu pemain terbaik dalam liga, berulang kali disebut "orang jipsi" oleh penggemar lawan. Striker Inter Milan Zlatan Ibrahimovic, orang Swedia tapi keturunan Bosnia, juga disebut "jipsi" oleh penggemar Juventus yang berang terhadap dia karena meninggalkan klub ketika mereka terdegradasi karena pengaturan skor. Para fans Juve menggunakjan istilah itu karena dia sering pindah-pindah klub dan bukan karena latar belakangnya.
Pelecehan rasis secara besar-besaran ditujukan kepada para tamu pemain kulit hitam dalam pertandinghan internasional lawan Inggris, sementara teriakan monyet dan penghinaan rasial sering terjadi.
Dua musim lalu, penuh dengan kejadian rasisme, striker Barcelona Samuel Eto`o mengancam akan meninggalkan lapangan setelah dihina para penonton dalam pertandingan melawan Real Zaragoza.
Imbauan berulang kali dari penguasa sepak bola dan para pemain kepada para penggemar, serta adanya undang-undang anti kekerasan, belum lama ini membuahkan hasil setelah bertahun-tahun terjadi pelecehan rasial terhadap para pemain hitam.
Titik balik terjadi dalam kejuaraan Eropa dibawah 21 tahun pada 2007 di Belanda, ketika fans Serbia secara langsung meneriakkan kata-kata monyet terhadap para pemain kulit hitam Inggris saat pertandinghan grup mereka.
Menghadapi sanksi keras dari UEFA dan kemungkinan akan dikeluarkan dari semua kompetisi internasional, Serbia menerapkan undang-undang tegas tentang hukuman terhadap kekerasan dan rasisme dalam sepak bola.

Klub Diktator Mussolini
Pendukung klub Lazio memang sudah lama dikenal sebagai kubu paling rasis di antara seluruh kubu pendukung klub-klub Seri A di Liga Italia. Maklum saja, dulu klub ini adalah klub kecintaan diktator Italia, Benito Mussolini. Tak mengherankan bila pendukung fanatik kesebelasan ini enak saja menghina pemain Lazio yang menurut mereka tak pantas mewakili klub kesayangannya.
Aron Winter, pemain nasional Belanda, adalah pesepak bola kulit hitam terakhir yang bermain bagi Lazio. Ketika pada 1992 Aron Winter datang ke Lazio, ia disambut sebuah spanduk besar yang dengan sangat menghina menyebutnya ''Yahudi Negro''. Para pendukung Lazio ini jelas tak cukup mengenal Winter. Ia sama sekali bukan Yahudi, sebab nama tengahnya adalah Mohammed.
Liverani pun sempat mendapat tentangan keras dari tifosi Lazio, ketika manajemen Lazio merekrutnya, langkah inipun agak dipaksakan untuk menepis citra buruk Lazio sebagai Klub rasis, begitu juga dengan Manfredini, padahal kedua pemain ini mempunyai darah keturunan Italia.
Pendukung Lazio paling ekstrem adalah kelompok ''Irriducibili'' (Yang Tak Tersentuh). Aksi kelompok ini jelas menunjukkan kebencian pada kaum kulit hitam dan bangsa Yahudi. Pada derby (pertandingan klub satu kota) antara Lazio dan AS Roma, spanduk yang dibawa Irriducibili bertuliskan: ''Auschwitz adalah negerimu --oven adalah rumahmu''.
Boleh jadi, atmosfer kebencian rasial semacam inilah yang membuat Cafu, pemain belakang AS Roma asal Brasil, ingin segera hengkang dari Italia. ''Sudah tak ada lagi kegembiraan dalam sepak bola di sini,'' katanya. ''Jika menemukan klub yang lebih tenang daripada Roma, saya akan langsung pindah.'' Ia punya alasan kuat untuk merasa tak tenang di Roma.
Sering, tanpa alasan yang jelas, mobil yang dikendarai Cafu sekeluarga ditimpuki orang. Yang disesalkan Cafu, anaknya yang masih kecil harus ikut menyaksikan penghinaan rasial yang dialaminya. ''Pokoknya, saya berharap tak akan bertemu lagi dengan orang picik yang selalu menghina para pemain berkulit hitam,'' katanya.
Saking buruknya atmosfer rasisme di stadion-stadion sepak bola Italia, Paus Yohannes Paulus II sampai merasa perlu berkomentar mengutuk aksi-aksi itu. Ketika menerima audiensi beberapa pesepak bola ternama yang bermain di Seri A Liga Italia, Paus meminta penggemar sepak bola agar tak menjadikan dukungan pada klub berubah menjadi hinaan bagi pihak lain.
Kebangkitan Fasisme dan Ultrakanan
Sungguh sayang jika semangat berkompetisi hancur karena perbuatan tak terpuji,'' kata Paus. Toh, ada yang menganggap kekhawatiran terhadap kebencian rasial ini terlalu berlebihan. Salah satunya adalah Dino Zoff --mantan kiper legendaris Italia yang kini melatih Lazio. Musim lalu, sebagai Asisten Presiden Lazio, Zoff terpaksa membayar denda akibat aksi pendukung klubnya.
Lazio didenda US$ 2.250 karena Irrudicibili melakukan pelecehan terhadap Bruno N'Gotty, pemain belakang berkulit hitam yang bermain untuk Venesia. ''Saya tak tahu, apakah hal seperti itu bisa disebut rasisme,'' katanya, ''Ini kan cuma cara sekelompok orang membuat lelucon. Mereka bisa saja memilih orang yang terlalu tinggi, terlalu pendek, atau berkulit hitam.''
Tapi, menurut Michael Fanizadeh, periset di Vienna Institute yang juga koordinator gerakan Football Against Racism di Eropa, kebencian ras yang terbaca di stadion-stadion Italia memang benar-benar mengkhawatirkan. Ia menunjuk pertandingan terakhir yang disaksikannya, antara AS Roma dan Inter Milan, di Stadion Olimpico di musim 2001.
Apa yang diamati Michael Fanizadeh adalah fakta bahwa suara-suara sumbang bernuansa rasis yang ditujukan pada Clarence Seedorf, pemain Belanda yang bermain untuk Inter, tak hanya datang dari kaum ultrakanan, pria-pria skin head. ''Yang jadi masalah, umpatan-umpatan itu juga datang dari banyak wanita dan anak-anak,'' katanya.
Boleh jadi, kebangkitan rasisme di stadion-stadion sepak bola Italia adalah cermin dari maraknya kembali fasisme di negeri ini. Partai Aliansi Nasional, penerus partai Benito Mussolini, misalnya, mulai merebut perhatian khalayak muda. Partai ini malah sudah pernah memerintah ketika ikut dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Silvio Berlusconi, beberapa tahun lalu.
Di Eropa, partai-partai ultrakanan memang perlahan-lahan mulai memperoleh suara signifikan dalam pemilihan umum. Di Prancis, Italia, dan Jerman, partai-partai ekstrem kanan ini bisa memperoleh sekitar 10% suara. Sementara di Austria, Partai Kebebasan pimpinan Joerg Haider malah mengejutkan dunia karena berhasil merebut tampuk kekuasaan, tahun lalu.
Meski terdapat beberapa kejadian terpisah di Bundesliga, masalahnya kini lebih meluas di liga lebih rendah. Contoh paling serius terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini di Jerman pada September 2006 ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan striker Jerman Gerald Asamoah, yang kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940 dolar AS. Pada Agustus tahun lalu, kiper Borussia Dortmund Roman Weidenfeller dinyatakan bersalah membuat pernyataan rasis terhadap Asamoah.

Kawasan Tanpa Kulit Berwarna
Dalam sebuah cerita sampulnya pada 1994, time mencatat betapa bagi kaum neofasis, sepak bola merupakan lahan paling efektif untuk merekrut anggota baru. Hal ini, menurut Time, paling jelas terjadi di Inggris. Di Spanyol, para pemuda ultrakanan juga menggabungkan kekerasan jalanan dan lambang-lambang neo-Nazi dengan dukungan bagi tim kesayangan mereka.
Di Prancis adalah Jean Marie Le Pen, politisi ultrakanan, yang mengucapkan kata-kata kasar ketika ''Les Bleus'', tim sepak bola nasional Prancis untuk Piala Dunia 1998, dibentuk dari pemain-pemain yang multiras. ''Tim masyarakat pendatang ini tak pantas mewakili Prancis,'' kata Le Pen. Toh, hasilnya, tim ini merebut Piala Dunia Sepak Bola 1998, dan juga Piala Eropa 2000.
Le Pen ternyata salah, dan seolah menggali lubang sendiri bagi karier politiknya. Sejak kemenangan Les Bleus, bintang Le Pen redup di panggung politik. Tapi, di stadion-stadion, kaum rasis masih belum berhenti. Stephane Dalmat, pemain belakang berbakat Paris St Germain, misalnya, masih menjadi bulan-bulanan umpatan rasial, hingga akhirnya memilih hengkang dari Prancis.
Kasus aksi rasisme terjadi ketika skuad Les Blues Perancis berlaga ke Lithuania dalam Kualifikasi Euro 2008. spanduk berisi lukisan afrika yang tertuang dalam warna biru, putih, merah yang merupakan bendera Perancis dengan tulisan " Selamat datang ke Eropa ". Apabila diperhatikan dengan saksama, jelas sekali bahwa ini adalah suatu perilaku rasisme yang ditujukan untuk pemain nasional Perancis yang umumnya berkulit hitam.
Pengalaman Fode Sylla, anggota parlemen Eropa dan presiden dari SOS Racisme International, lain lagi. Hingga kini, ia masih terus berjuang membersihkan Stadion Parc des Princes dari kaum Nazi fanatik. Kaum rasis ini pada setiap pertandingan selalu membuat sebuah kawasan white only ''Tanpa Kulit Berwarna'' di tribun penonton di belakang salah satu gawang stadion itu.
Tak hanya di negeri-negeri raksasa sepak bola Eropa, stadion-stadion sepak bola penuh atmosfer kebencian rasial. Di Turki, 7 tahun lalu, Kevin Campbel, pesepak bola berkulit hitam asal Inggris, mengalami depresi sehingga harus diisolasi, ketika bergabung dengan klub Trabzonspor. Sikap para pendukung klub ini yang menyebabkan penderitaan Campbell.
Bayangkan, bukan sekadar tak suka, fans Trabzonspor menyebut Campbell ''kanibal yang menyangka dirinya penyerang''. Di Polandia, Oktober tahun 2000, Emanuel Olisadebe, pemain kulit hitam dari klub Polonia Warsaw, dilempari pisang dan kulit pisang oleh pendukung klub Zaglebie, ketika pesepak bola kulit hitam ini mencetak gol.

Kesepakatan dengan PBB
Di Budapest, Hongaria, tatkala Ajax Amsterdam menghadapi klub Ferencvaros dalam kompetisi sepak bola Eropa, stadion itu penuh teriakan, poster, dan umpatan rasis, setiap pemain berkulit hitam Ajax memainkan bola. Menurut Tamas Krausz, sejarawan Hongaria, dalam Soccer and Racism in Hungary, atmosfer rasis di stadion-stadion Hongaria tak punya akar dalam sejarah.
Tapi kini, dalam kompetisi lokal pun marak kebencian rasis. Cuma, korbannya tak lagi pesepak bola hitam, melainkan pesepak bola --atau pelatih-- keturunan gipsi dan Yahudi. ''Sepak bola sudah tamat di stadion. Yang ada hanya kekerasan dan rasisme,'' kata Tamas Krausz, yang puluhan tahun menjadi pengunjung setia pertandingan sepak bola di stadion-stadion Hongaria dan negara Eropa lain.
Sepak bola memang tengah menghadapi paradoks --atau parodi. Sebagai bisnis, olahraga ini kini tumbuh mengglobal dan menghasilkan tak kurang dari US$ 250 milyar setahun. Tak mengherankan jika 7 tahun lalu, Joseph Blatter, Presiden FIFA, dengan penuh optimisme menandatangani sebuah kesepakatan penting dengan Kofi Annan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lewat sepak bola, FIFA berjanji akan mengampanyekan ''nilai-nilai luhur yang melintasi segala perbedaan sosial, budaya, dan ras''. Ketika itu, dengan bangga Blatter meyakinkan pada Annan betapa penting arti olahraga sepak bola. ''Dunia akan jadi lebih baik jika mencontoh apa yang terjadi di lapangan sepak bola,'' kata Blatter.
Tapi, belakangan, Blatter terpaksa mengakui, sepak bola yang dibanggakannya telah berubah. Ancaman rasisme telah menempatkan nilai-nilai luhur sepak bola dalam bahaya. Kini, tugas terberat Blatter adalah melaksanakan Pasal 2 Anggaran Dasar FIFA. ''Yakni menghidupkan komitmen moral bahwa tak boleh ada diskriminasi sekecil apa pun dalam olahraga ini,'' kata Blatter.
Beruntung, tak hanya Blatter yang khawatir dan mau bekerja menyingkirkan rasisme dari sepak bola . Setidaknya, kekhawatiran yang sama juga dirasakan Lennart Johansson, salah satu petinggi komite organisasi FIFA. Salah satu sebabnya, Johansson lahir pada 1929, dan mengalami masa kebangkitan Nazi.
''Saya juga menyaksikan Dachau (salah satu kamp konsentrasi Nazi --Red.), dan apa yang terjadi jika kita diam ketika berlangsung sesuatu yang salah,'' katanya. Maka, Johansson pun mendesak UEFA untuk memperkeras sanksi bagi klub-klub yang pendukungnya menunjukkan aksi rasialis. Desakan Johansson berhasil membawa perubahan.
Sejak Natal tahun 2000 lalu, UEFA memutuskan memperkeras sanksi bagi klub yang melanggar ketentuan antirasial dan kekerasan. Klub akan diganjar denda yang lebih besar. Malah, UEFA mengancam akan mencoret sebuah klub dari kompetisi Eropa, dan menutup stadionnya, jika perilaku salah itu terus berlanjut.
''Di Swedia, negeri kelahiran saya, siapa pun diizinkan memakai segala atribut neo-Nazi. Tak ada yang akan melakukan apa-apa,'' kata Johansson. Baginya, hal ini salah. Pembunuhan Hermansen di Oslo seharusnya menyadarkan banyak pihak. ''Anak itu begitu percaya pada sepak bola, tapi mati sia-sia. Kalau kita tak bertindak, tragedi Dachau bisa terulang lagi,'' katanya.
Tapi, ancaman itu berkembang kembali seiring merebaknya kasus rasisme di Spanyol, banyak pemain kulit hitam jadi korban pelecehan rasial, Bahkan tidak saja ditunjukan penonton di Stadion tapi telah merasuki pelatih selevel Luis Aragones pelatih timnas Spanyol.
Betapa tidak, dalam semangat salah satu pemainnya, Reyes terlebih dahulu mengejek Henry , Henry diejek bahwa pemain kulit hitam kualitasnya lebih rendah dari Reyes.
Hukuman yang sangat ringan atas pelaku rasisme ditengarai sebagai pendorong sikap rasis penonton sepak bola di Spanyol untuk tumbuh dan berkembang.
Pemain terbaik Afrika yang memperkuat Barcelona, Samuel Eto’o, juga kerap kali terkena ejekan bernada rasis. Eto’o tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan melalui gol-gol yang selalu dirayakannya dengan menari-nari seperti, monyet.
Ketika Piala Dunia mau dimulai sekelompok Rasis dari Italia mengajak rekan-rekannya dari negara eropa lainnya untuk mensweeping pendukung dari negara timur tengah, tapi rencana itu tak terlaksana konon kabarnya para Neo-Nazi Jerman tak setuju dengan ide dari kelompok rasis Italia, sebab bagi Neo-Nazi negara seperti Iran merupakan teman bagi mereka artinya musuhnya musuh adalah teman, Bahkan Neo-Nazi setuju dengan pendapat Ahmadinejad bahwa tak ada Holocaust di zaman Rezim Hitler itu cuma mitos belaka.

·         Rasisme dalam Persepakbolaan Indonesia
Dimulai dari persepakbolaan Indonesia, sikap rasisme bisa dipastikan terjadi di setiap pertandingan Liga Indonesia yang digelar. Awal dari Liga Indonesia 2007 saja dinodai dengan aksi rasisme yang diluncurkan terhadap pemain Persipura. Selain kejadian itu, tindakan rasisme kali ini menimpa mantan pemain Persib yang kini membela Arema malang yakni Alexander Pulalo yang mengalami dua kali perlakuan rasisme. Pada tanggal 25 Maret 2007 tepatnya hari Minggu di Stadion Gelora Delta, Pulalo mendapatkan perlakuan tidak berkenan dari pendukung Deltras dan pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2007 dari para pendukung PSIM di Stadion Mnadala Krida Yogyakarta.
Setiap kali pemain yang berposisi di wing bek kiri itu menggiring bola, para pendukung Deltras dan PSIM selalu meneriaki Pulalo dengan tiruan suara seperti kera. Untungnya, insiden tersebut tidak lantas membuat Pulalo terpancing untuk melakukan tindakan balasan terhadap para supporter tersebut. Bisa dibayangkan, apabila Pulalo sampai terpancing dengan tindakan rasisme tersebut, hal ini mungkin akan berbuntut kerusuhan. sepertinya aksi-aksi seperti itu tidak disadari oleh para supporter Indonesia sebagai suatu tindakan rasisme.
Sungguh, tidak semestinya hal seperti ini terjadi. padahal FIFA sebagai Federasi Sepakbola Dunia melarang dengan tegas aksi rasisme dalam dunia sepakbola. Selain dari FIFA perhatian terhadap aksi rasisme juga dilontarkan ole Michel Platini yang bertindak sebagai Presiden UEFA. Beliau telah memperkenalkan program egaliterisme dalam dunia sepakbola. Dimana program ini berbicara bahwa masing-masing individu mempunyai hak yang sama. Yaitu setiap individu berhak menonton, menikmati atau sekedar berkiprah dalam dunia sepakbola, tetapi dengan syarat semua itu dilakukan tanpa adanya gangguan yang bersifat diskriminasi rasial atau perbedaan gender.
Di Indonesia sendiri PSSI dan BLI lewat Tim Komisi Disiplinnya harus bertindak tegas untuk urusan yang satu ini. Jangan pernah menganggap bahwa masalah rasisme adalah sesuatu yang sepele. rasisme tidak sama sekali mencerminkan budaya bangsa kita, apalagi negara kita mempunyai semboyan " Bhinneka Tunggal Ika " yang mempunyai makna " berbeda-beda tetap satu jua ". FIFA juga sudah memprogamkan penghapusan rasisme dalam persepakbolaan lewat slogannya " Let's Kick Racism Out of Football ".
Sekarang tinggal PSSI dan BLI harus benar-benar merealisasikan slogan FIFA tersebut untuk menyingkirkan masalah rasisme dalam dunia sepakbola negeri kita. Atau PSSI masih saja betah berkutat dengan masalah internal organisasi dan kesemrawutan Liga Indonesia?. Marilah kita sebagai supporter, ikut turun untuk mendukung anti rasisme dalam persepakbolaan negeri ini. Kita harus berpikir, bagaimana kalo aksi rasisme menimpa diri kita sendiri?. Dengan mempunyai pikiran seperti itu sudah menjadi awal tindakan kita sebagai supporter dalam memerangi rasisme, dan mudah-mudahan sikap rasisme benar-benar terhapus di persepakbolaan negeri kita bahkan di dunia. PSSI dan BLI juga pasti akan mulai memperhatikan masalah rasime dan tidak memandangnya sebelah mata.

E.     Hukuman Pelaku Rasisme
Para pemain yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan bernada rasis bakal menghadapi larangan bermain dalam lima pertandingan. Sementara para pesepakbola yang terbukti bersalah melakukan diving (aksi pura-pura) akan dilarang bermain setidaknya dalam dua pertandingan berdasarkan peraturan baru yang diumumkan Uni Sepak Bola Eropa (UEFA), kemarin.
Paket peraturan baru UEFA itu mengemukakan perintah larangan tiga pertandingan dengan dua partai tambahan bagi setiap pemain yang menghina martabat kemanusiaan dari seseorang atau satu kelompok dengan cara apa pun, termasuk alasan warna kulit, ras, agama atau asal etnis.
Klub-klub yang para penggemarnya terlibat dalam tindakan rasis dan diskriminasi, akan menerima suatu denda minimal 19.000 euro (24.230 dolar AS). Untuk pelanggaran yang lebih berat, UEFA akan menjatuhkan hukuman seperti memainkan pertandingan di stadion tertutup.
UEFA juga menyatakan setiap propaganda ideologi yang bersifat ekstremis dilarang dan boleh jadi akan mengakibatkan pertandingan yang berhadiah itu batal, menghadapi pengurangan poin atau diskualifikasi dari kompetisi.
Mereka yang melakukan pertandingan dengan baik menjadi semakin khawatir mengenai rasisme dalam olahraga. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) memperingatkan, asosiasi nasional yang gagal memberlakukan peraturan baru secara keras dan ketat dalam menghadapi masalah rasisme, akan diskors.
Sebagai wujud nyata dari peraturan yang dibuat UEFA itu terlihat di Bundesliga Jerman pada September 2006 ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan striker Jerman Gerald Asamoah, yang kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940 dolar AS. Pada Agustus tahun lalu, kiper Borussia Dortmund Roman Weidenfeller dinyatakan bersalah membuat pernyataan rasis terhadap Asamoah. Kemudian pada Liga Italia Serie A, Lazio didenda US$ 2.250 karena Irrudicibili melakukan pelecehan terhadap Bruno N'Gotty, pemain belakang berkulit hitam yang bermain untuk Venesia.

Ejekan Rasial
Selama Piala Dunia 2006, para pemain Prancis menduga mereka diejek secara rasial oleh para pendukung Spanyol. Tahun lalu, fans Real Zaragoza dan Racing Santander melakukan pelecehan rasial terhadap pemain depan Barcelona, Samuel Eto'o, selama berlangsungnya pertandingan Liga dan mereka kemudian didenda.
Rangers juga didenda UEFA karena teriakan-teriakan sektarian oleh para pendukung mereka pada suatu pertandingan Liga Champions melawan Villarreal.
Sebagai bagian dari peraturan keras dan ketat itu, para pemain yang berusaha ''menipu'' wasit dengan melakukan diving atau aksi berpura-pura terluka untuk mempengaruhi keputusan wasit akan dilarang bermain dalam dua pertandingan. Namun peraturan baru tersebut memperkuat posisi bahwa suatu keputusan wasit di lapangan tetap final.
Hanya konsekuensi dari suatu keputusan wasit kemungkinan harus ditinjau ulang jika melibatkan suatu kesalahan nyata seperti identitas yang keliru.
Jika suatu klub memiliki lima pemain atau lebih yang terkena kartu kuning dalam satu pertandingan yang sama, klub itu bisa dihukum berdasarkan peraturan baru mengenai ''tindakan yang tak patut dari suatu tim''. (rtr,A7-31).



PENUTUP


A.    Kesimpulan
·         Arti olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga rohani, dan bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya
·         Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya
·         Perbedaan dan keragaman manusia ternyata ditafsirkan secara salah. Tak pelak, kalau dalam rentang sejarah muncul "klaim" terhadap manusia yang berkulit hitam dengan "cap" sebagai manusia yang bodoh, kurang beradab dan terbalakang. Sejarah akan pembantaian serta pembunuhan secara kejam oleh tentara Nazi Jerman terhadap orang Yahudi, juga sejarah kelam orang kulit hitam di bawah rezim rasis di Amerika Selatan pada era Jim Crow, dan di Afrika Selatan pada era rezim Apartheid setidaknya menjadi bukti sejarah gelap rasisme.
·         Rasisme bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu jelas bermakna sangat merugikan bagi si korban. Sangat disayangkan itulah yang terjadi dalam dunia sepakbola Indonesia dan mancanegara.
·         Hukuman bagi pelaku rasisme adalah klub-klub yang para penggemarnya terlibat dalam tindakan rasis dan diskriminasi, akan menerima suatu denda minimal 19.000 euro (24.230 dolar AS). Untuk pelanggaran yang lebih berat, UEFA akan menjatuhkan hukuman seperti memainkan pertandingan di stadion tertutup, sebagai wujud nyata adalah ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan striker Jerman Gerald Asamoah, yang kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940 dolar AS.

B.     Saran
Bagi semua pelaku olahraga baik itu pemain, supporter, pelatih, manajer, dll hendaknya menyadari bahwa rasisme itu adalah suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan perpecahan, dan hal itu sangat menyakitkan bagi korban akibat pelecehan rasisme. Oleh sebab itu “Let's Kick Racism Out of Our Life” singkirkan rasisme dari kehidupan kita. Dan juga bagi pihak-pihak berwenang hendaknya member sanksi yang berat bagi pelaku rasisme, mengingat dampak yang ditimbulkan akan sangat berbahaya.


DAFTAR RUJUKAN

-------. 2006. Hukuman Berat Bagi Pelaku Rasisme. (Online), (http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/02/ora19.htm, diakses pada 17 April 2009).
-------. 2007. Rasisme dalam Sepakbola. (Online), (http://athos666.multiply.com/journal/item/5/Rasisme_Dalam_Sepak_Bola.html, diakses pada 17 April 2009).
-------. 2008. Rasisme dalam Kaitan Olahraga Di Eropa.(Online), (http://www.antara news.com/article/2007/rasisme-dalam-kaitan-olahraga-di-eropa/opi07.html, diakses pada 17 April 2009).
-------. 2008. Rasisme di Stadion Sepakboa. (Online), (http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3379993,00.html, diakses pada 17 April 2009)
-------. 2009. Rasisme. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme, diakses pada 17 April 2009).
Dwicahyo. 2008. Penjas, Olahraga, atau Bermain Ya?. (Online), (http://onopirododo.wordpress.com/2008/11/14/pendidikan-jasmani-olahraga-atau-bermain-ya/, diakses pada 03April 2009).
Gigie, Deu’. 2009. Rasisme dalam Dunia Sepakbola. (Online), (http://deugigie.blogspot.com/2009/03/rasisme-dalam-dunia-sepakbola.html, diakses pada 17 April 2009).
Mursidi, Nur. 2006. Menelusuri Jejak Rasisme. (Online), (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/20/opi06.html, diakses pada 17 April 2009).
Pratama, Wahyudi. 2005. Menyikapi Rasisme. (Online), (http://first-things-first.blogspot.com/2005/09/menyikapi-rasisme.html, diakses pada 17 April 2009).
Rachim, Angga Aulia. 2007. Definisi Olahraga??. (Online), (http://anggaauliarachim.wordpress.com/2007/10/24/23/, diakses pada 03 April 2009).
Roesdiono, Wiranto. 2009. Suara Hati (Rasisme). (Online), (http://ranrose.multiply.com/journal/item/74, diakses pada 17 April 2009).
Soeroto, Totok. 2006. Dunia Tanpa Diskriminasi dan Rasisme. (Online), (http://soeroto.multiply.com/journal/item/6, diakses pada 17 April 2009).
Yanmartha. 2008. Rasisme. (Online), (http://yanmartha.com/?p=403, diakses pada 17 April 2009).

1 komentar:

Unknown mengatakan... 10 Desember 2012 pukul 11.24

wes pa guru is good

Posting Komentar

Jumlah Pengunjung

Sponsors

Copyright © 2011 PENJASORKES bukan dikjasor !!!!

Template N2y Shadow By Nano Yulianto