PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia terlahir di bumi ini
terdari dari bermacam-macam suku bangsa, agama, ras, budaya. Keragaman itu
merupakan karunia yang sangat indah dari Tuhan YME. Dikatakan karunia terindah
karena dengnan keragaman itu manusia dapat mengenal berbagai budaya, agama, dan
yang lainnya, sehingga dalam menjalani hidup manusia mempunyai banyak variasi
yang dapat mengakibatkan manusia tidak mudah bosan dalam menjalani hidup. Dapat
dibayangkan jika manusia di dunia ini hanya terdiri dari satu suku bangsa saja,
atau satu agama saja, atau satu ras saja, maka manusia hidup tidak mempunyai
variasi yang akhirnya menimbulkan kebosanan. Dapat diibaratkan jika setiap hari
hanya makan lauk tempe, maka suatu saat pada puncaknya akan mengalami kebosanan
karena tidak ada variasi.
Tetapi kenyataannya
keragaman suku bangsa, agama, ras, maupun budaya itu sekarang justru
menimbulkan suatu perpecahan. Perpecahan yang timbul itu diakibatkan oleh
rasisme. Rasisme adalah
suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang
menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan
memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sehingga
manusia selalu menganggap golongan, kelompok, agama, ataupun rasnya lah yang
paling benar, yang paling berkuasa, dan lain-lain, dan yang lain itu paling
rendah. Yang dianggap paling rendah kemudian memberontak, ataupun menunjukkan
jika dirinya bukanlah yang paling rendah melainkan yang paling tinggi. Hal
demikian yang dapat menyebabkan adanya suatu perpecahan, oleh sebab itu rasisme
dikatakan suatu pelanggaran yang cukup serius, sehingga memerlukan penanganan
yang lebih khusus lagi.
Dalam dunia olahraga banyak sekai terjadi, baik di Indonesia maupun di
mancanegara. Misalnya pemain kulit hitam diteriaki superter bagaikan monyet,
dan lain-lain. Hal ini dapat mengganggu jalannya pertandingan dan juga dapat
merusak sportivitas.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas,
maka dapat ditarik suatu rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1.
Apakah definisi dari olahraga?
2.
Apakah definisi dari rasisme?
3.
Bagaimanakah sejarah rasisme?
4.
Bagaimanakah rasisme terjadi dalam dunia olahraga (sepakbola)?
5.
Bagaimanakah hukuman bagi pelaku rasisme dalam dunia olahraga
(sepakbola)?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas,
maka dapat ditarik suatu tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.
untuk mengetahui definisi dari olahraga,
2.
untuk mengetahui definisi dari rasisme,
3.
untuk mengetahui sejarah rasisme,
4.
untuk mengetahui rasisme terjadi dalam dunia olahraga (sepakbola),
5.
untuk mengatahui hukuman bagi pelaku rasisme dalam dunia olahraga
(sepakbola).
PEMBAHASAN
A. Definisi Olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah
gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau
rombongan. Sedangkan dalam Webster’s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk
mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam
olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat).
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses
sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong
mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang
sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan,
perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward
(1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang
lingkup bermain mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari
rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak
baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh
keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport;
permainan yang dilembagakan.
Arti olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh
seseorang, tidak hanya secara jasmani tetapi juga rohani, dan bertujuan untuk
mencapai prestasi yang setinggi-tingginya.
B. Definisi Rasisme
Rasisme adalah
suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang
menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan
memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.
Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi
terhadap kelompok etnis tertentu
sendiri (etnosentrisme), ketakutan
terhadap orang asing (xenofobia), penolakan
terhadap hubungan antarras (miscegenation), dan generalisasi terhadap
suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial,
segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering
menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan
dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan
identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat
kontroversial.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
arti kata Rasis : 1. berdasarkan (bersifat), ciri-ciri fisik,
suku bangsa, bangsa dsb (seperti, warna kulit, rambut dll.) 2. berdasarkan ras
tertentu.
Rasialisme adalah : 1. Prasangka berdasarkan
keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelah thd (suku) bangsa yang
berbeda-beda). 2. Paham bahwa ras diri sendiri yang paling unggul.
Dalam kamus Webster kata Rasisme didefinisikan sebagai suatu bentuk keyakinan bahwa ras
adalah penentu utama karakter dan kapasitas manusia dan perbedaan rasial
menentukan adanya satu superioritas bawaan dari satu ras. walau rasisme telah ada dalam satu bentuk
atau bentuk lainnya, tapi mungkin manifestasi terburuknya dapat kita ihat dalam
sejarah Eropa dan Amerika hingga sekarang.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa
perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya
atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk
mengatur yang lainnya.
Para pemikir menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis
tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia),
penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi
terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotype).
Rasis dalam pengertian pertama
adalah sesuatu yang positif secara moral untuk dianut, dan karena itu
adalah sesuatu yang tidak bermoral untuk menyangkalnya, maka menyangkalnya sama
dengan menyangkal kebenaran. Dengan demikian sebuah pernyataan yang benar
tentang karakteristik satu ras tidak secara otomatis menjadi rasis dalam
pengertian yang kedua dan bersifat immoral.
Banyak orang membingungkan kedua definisi tersebut, dan
mungkin karena dipengaruhi oleh pemikir sekuler, bahkan orang percaya pun gagal
untuk melihat pembedaan sederhana tersebut. Tentu saja ada banyak yang menolak
pembedaan tersebut hanya karena mereka berasumsi bahwa rasisme tidak mungkin
benar (bahwa satu ras tidak mungkin secara melekat superior atau inferior
dibanding ras lainnya), jadi (menurut mereka) siapapun yang mengakui kepercayaan rasis
melakukannya karena dia adalah rasis dalam pengertian kedua. Orang lain
mengasumsikan bahwa rasisme
dalam pengertian pertama tidak mungkin benar, jadi kaum rasis pada umumnya
hanyalah orang yang naif. Namun demikian, tanpa alasan atau bukti bahwa rasisme dalam pengertian
pertama tidak mungkin benar, pembedaan antara pengertian yang pertama harus
dipertahankan, dan kita tidak dapat hanya mengasumsikan bahwa kaum rasis adalah
orang yang naif.
C. Sejarah Rasisme
Terlahir
sebagai manusia dengan ciri-ciri fisik, seperti warna kulit hitam, hidung
pesek, dan rambut keriting haruslah diakui bukan sebagai satu kesalahan atau
"dosa turunan". Manusia mana pun tak pernah punya pilihan ketika
dilahirkan, termasuk lahir dengan kondisi "cacat secara fisik". Semua
itu semata-mata merupakan takdir Tuhan. Artinya, bentuk fisik dan warna kulit
manusia adalah hak prerogatif Tuhan yang tak bisa ditolak. Sebaliknya,
keragaman dan perbedaan warna kulit itu harus dipahami sebagai kemajemukan ras,
bukan menunjukkan satu superioritas. Sebab semua manusia diciptakan Tuhan
setara dan dianugrahi hak-hak individu yang berasal dari alam dan akal.
Tetapi
celah perbedaan dan keragaman itu ternyata ditafsirkan secara salah. Tak pelak,
kalau dalam rentang sejarah muncul "klaim" terhadap manusia yang
berkulit hitam dengan "cap" sebagai manusia yang bodoh, kurang
beradab dan terbalakang. Sejarah akan pembantaian serta pembunuhan secara kejam
oleh tentara Nazi Jerman terhadap orang Yahudi, juga sejarah kelam orang kulit
hitam di bawah rezim rasis di Amerika Selatan pada era Jim Crow, dan di Afrika
Selatan pada era rezim Apartheid setidaknya menjadi bukti sejarah gelap rasisme.
Memang,
istilah rasisme itu
sendiri baru pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an. Pada waktu itu
istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan "teori-teori rasis"
yang dipakai orang-orang Nazi melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi.
Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tak ada. Telepas
dari istilah rasisme
yang dianggap sebagai ide modern yang khas serta tidak memiliki preseden
historis, setidaknya fenomena tribalisme dan xenofobia bisa menjadi titik
berangkat-meski hal itu bukanlah rasisme-dalam menelusuri jejak sejarah rasisme. Penelusuran akan jejak rasisme dalam rentang
sejarah itulah yang disajikan George M Fredrickson dalam buku ini.
Sejarah
memang bukan lembaran peristiwa yang sepenuhnya suci dari bercak darah. Bahkan
sejarah agama-agama, menurut Fredrickson sempat ternoda bercak rasisme yang diliputi
adanya pembantain dan perang dikarenakan serpihan pemikiran akan klaim
keyakinan yang dianutnya. Sikap orang-orang Kristen Eropa terhadap bangsa
Yahudi yang dituduh telah membunuh Kristus dan meracuni sumber mata air untuk
melenyapkan pengikut Kristus, dalam kaca mata Fredrickson adalah satu landasan
bagi rasisme yang
berkembang di kemudian hari.
Orang-orang
Kristen-setidaknya belajar dari sejarah Islam-kemudian "mengaitkan"
warna kulit dengan status perbudakan. Dari konteks itulah, orang-orang Afrika
sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena kutukan (biblikal) dari dosa
yang telah diperbuat Ham. Akibat dari dosa Ham itu, orang-orang Afrika diklaim
telah ditakdirkan sebagai ras budak. Klaim itu anehnya terus diakui kebenarannya
dan kemudian menjadi justifikasi rasisme.
Sejarah
awal rasisme-sebagaimana
dilacak M Fredrickson-setidaknya bisa ditelusuri dari Spanyol. Pada abad 12
sampai 13, pengikut Islam, Yahudi, dan Kristen bisa hidup berdampingan. Tapi di
akhir abab 14 dan awal 15, timbulnya konflik dengan orang Moor lalu memercikkan
diskriminasi terhadap Islam dan Yahudi. Di sini tampak kebencian yang bersifat
sektarian lalu menjadi kebencian yang bersifat rasial dalam bentuk pengusiran.
Setelah Spanyol dibersihkan dari orang-orang Yahudi dan Moor, kemudian mulai
menjajah "dunia baru" (Amerika) dan menemukan jenis perbedaan
baru-orang-orang primitif dan yang kurang beradab.
Pembauran
dengan orang berdab itu dirasa sebagai sesuatu yang mustahil. Karena itulah,
keyakinan sebagai bangsa yang unggul berkembang dengan bentuk merasialisasikan
orang-orang yang tidak beradab dan terbelakang sebagai budak. Timbulnya
keyakinan itu pula yang kemudian jadi sumber utama di pihak sebagian besar
bangsa Jerman dengan berpandangan mustahil melakukan pembauran dengan orang
Yahudi. Ketika itu, menurut M Fredrickson, rasialisme secara biologis belum
diterapkan kepada bangsa Yahudi di Jerman sampai kemudian digunakan untuk
merasionalisasi sikap orang Amerika terhadap orang kulit putih.
Dari
pandangan itu, orang Amerika merasialkan orang lain dan menganggap dirinya
paling manusiawi. Puncak supremasi kulit putih itu lalu mencapai perkembangan
ideologis yang paling lengkap terjadi di Amerika Serikat bagian Selatan antara
tahun 1890-an hingga 1950-an. Sementara itu, orang Jerman melengkapi dirinya
sendiri dengan identitas rasial sehingga merasa perlu untuk menyingkirkan orang
lain dari identitas ras unggul Kaukasia-bangsa Arya. Adapun puncak
antisemitisme Jerman itu memuncak pada tahun 1933 dan 1945.
Rasisme dalam sejarahnya selalu menjadi hantu
ideologi sosial yang menyebalkan dan menjijikkan, sampai sekarangpun, rasisme rasanya masih
berupa ketegangan upaya dalam mengucap eksistensialitas diri dan kelompok lebih
baik daripada yang lain. Dengan kata lain ini menyangkut persoalan identitas,
biologis dan optimasi fisik yang dipandang lewat kacamata perspektif diri
sendiri. Dan parahnya itu menjadi faham, diteriakkan tanpa mempunyai rasa malu
dengan membayangkan ideologi yang ada dibelakang mereka sebagai satu kekuatan
superpower yang mampu meluluhlantakkan apapun yang menghalangi jalannya.
Rasisme, rasanya masih ada sampai sekarang.
Semenjak era propaganda NAZI di awal tahun 1920-an sampai kini adanya kelompok
haluan keras, dari suporter klub sepak bola Italia, LAZIO yang rasis dan fasis
(perlanjutan dari ideologi Musollini?). Namun masih teringat ideologi politik
pembedaan warna kulit yang sebenarnya amat sangat menjijikkan untuk
diperhatikan. Apakah itu merupakan ucapan umum yang diklaim sebagai wakil sekelompok
massa, rasa bangga terhadap wujud fisik dengan memandang orang lain lebih
rendah dari dirinya dan upaya menindas bangsa lain, bahkan sampai ucapan
keseharian yang jamak dilakukan dalam konteks sosial. Lihat saja, masih ada
anggapan bangsa lain yang merasa dirinya lebih besar dan berhak menirukan suara
kera ketika seorang pemain sepak bola berkulit hitam bertanding melawan sebuah
klub sepak bola internasional, atau yang merasa berbeda dan berhak mendapat
perlakuan berbeda dengan masyarakat lain hanya karena dirinya mempunyai
golongan darah biru. Termasuk Ethnic Cleanse, di Afrika, Boznia dan
lainnya. Bahkan adanya kepentingan yang lebih besar dengan menyelamatkan
segolongan kaum kulit berwarna dibandingkan lainnya di daerah yang terkena
bencana besar. Sampai bahkan ada yang mengatas namakan golongan beragama (dan
notabene orang dewasa) dan merasa berhak menghancurkan sebuah sekolah dasar
yang berbeda agamanya dengan mereka? Ataukah rasisme muncul dalam peraturan yang sedianya
disediakan untuk kehidupan bernegara ? rasanya kengerian yang lahir dari
masalah ini sudah terlalu menakutkan dan menyedihkan untuk didiamkan.
D. Rasisme dalam Olahraga (Sepakbola)
Menurut
Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan
atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna
kulit) dalam masyarakat. Rasisme
juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras ( SARA ),
golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk
tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu jelas bermakna sangat merugikan bagi si
korban. Sangat disayangkan itulah yang terjadi dalam dunia sepakbola Indonesia
dan mancanegara.
·
Rasisme dalam Persepakbolaan Mancanegara
Cabang olahraga paling populer di muka bumi ini pernah dinominasikan
menjadi salah satu kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2001 oleh Akademi
Swedia. Menurut International Herald Tribune, sepak bola dipilih karena
dinilai bisa menjembatani saling pengertian antarbudaya.
Pilihan Akademi Swedia itu sebenarnya tak
keliru. Anggaran Dasar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pun telah
mengasaskan hal yang sama. Menurut anggaran dasar itu, sepak bola bertekad
menjadi sarana melunturkan semua prasangka. Tapi, di dunia sepak bola sendiri,
cita-cita mulia itu ternyata menjadi paradoks --kalau bukan parodi-- kenyataan
sehari-hari.
Stadion-stadion sepak bola di Eropa kini
menjadi tempat subur bagi kebencian rasial. Kaum ekstremis berpikiran picik
seolah telah berhasil meracuni penonton yang hadir. ''Wajah konyol rasisme kini muncul di
semua tempat,'' kata Lennart Johansson, Presiden UEFA --Asosiasi Sepak Bola Uni
Eropa. ''Dan sayangnya, kita tak cukup berupaya mencegah perkembangannya.''
Sinyal yang dilontarkan Johansson bukanlah
isapan jempol. Malahan, kekerasan rasisme tak cuma berhenti di dalam stadion. Pada awal 2001, di sebuah jalan kota Oslo,
Norwegia, seorang pesepak bola penuh bakat berusia 15 tahun dikejar sekelompok
pemuda, dan ditikam hingga mati. Benjamin Hermansen, anak muda itu, dibunuh
hanya karena ia berdarah Afrika dan berani bicara menentang rasisme.
Setelah penikaman Hermansen, tak kurang dari
30.000 orang, termasuk Raja dan Perdana Menteri Norwegia, melakukan demonstrasi
di jalanan kota Oslo, mengutuk penikaman itu. Terbunuhnya Hermansen membuat
goyah sendi-sendi persepakbolaan Norwegia. Maklum, negeri itu tengah berharap,
kehadiran pemain berdarah Afrika dan Asia bisa mengangkat prestasi tim
nasionalnya.
''Kami punya dua pemain berbakat, dari Ghana
dan Maroko, serta satu lagi yang lebih muda dari Pakistan,'' kata Havard Lunde,
direktur marketing klub sepak bola Valerenga --klub asal Hermansen. Di
sekolah sepak bola Valeranga, kini berkumpul ratusan pemain berbakat dengan 70
kebangsaan. ''Jadi, kami harus bekerja keras menentang kebencian rasial semacam
ini,'' kata Havard.
Ku Klux Klan Masuk Stadion
Tak hanya masyarakat sepak bola Norwegia yang
mengambil langkah. Dua pekan lalu, pada 16 Maret, England's Member Club, sebuah
kelompok fans sepak bola, dinyatakan terlarang oleh Pemerintah Inggris.
Kelompok dengan anggota sekitar 30.000 orang ini dinilai selalu mengampanyekan
''huliganisme'' dan rasisme
setiap melawat ke luar negeri menemani tim nasional.
Pembubaran organisasi ini diputuskan oleh FA,
Persatuan Sepak Bola Inggris. ''Penyalahgunaan sepak bola harus dihentikan,''
kata Adam Crozier, Chief Executive FA. Tindakan ini diambil untuk
meniadakan pengaruh British National Party, Combat 18, dan unsur rasis lain
yang selama ini menyusup sebagai penonton pada pertandingan-pertandingan tim
nasional Inggris di luar negeri.
Inggris adalah salah satu negara Eropa yang
mengalami skala kekerasan dan kebencian rasial paling tinggi. Sebuah laporan
bersama Departemen Dalam
Negeri dan FSA --Asosiasi Penonton Sepak Bola Inggris-- melaporkan peningkatan
kultur xenofobia di kalangan penonton sepak bola Inggris. ''Mereka menunjukkan
persepsi yang keliru tentang patriotisme,'' tulis laporan itu.
Paul Thomas, Koordinator Internasional FSA,
misalnya, mencontohkan pertandingan persahabatan antara Inggris dan Prancis di
Stade de France, September lalu. Umpatan-umpatan rasis dari penonton asal
Inggris sangat mengganggu. Umpatan itu tak hanya ditujukan kepada para pemain
Prancis, melainkan juga kepada pemain Inggris seperti Sol Campbell --yang
kebetulan berkulit hitam.
''Level rasisme memang makin memburuk dua tahun belakangan ini,'' kata
Paul Thomas. Musim gugur lalu, Andy Frain dan Jason Mariner dijatuhi hukuman
penjara tujuh dan enam tahun. Aksi kampanye rasisme dua pemuda pengunjung setia
pertandingan sepak bola ini tertangkap basah kamera tersembunyi. Ternyata,
keduanya adalah pengurus kelompok rasis Combat 18 dan Ku Klux Klan.
Tapi ternyata bukan Inggris, melainkan
Italia-lah yang dijuluki sebagai pusat kekerasan rasial sepak bola di Eropa.
''Dibandingkan dengan bagian dunia mana pun, rasanya kami memiliki
stadion-stadion yang paling tak beradab dan paling tak bersahabat,'' kata
Arrigo Sacchi, pelatih yang membawa Ruud Gullit dan Frank Rijkaard bermain di the
dream team AC Milan.
''Monyet Hitam'' vs ''Gipsi Sialan''
Arrigo Sacchi tahu persis apa yang dialami
kedua pemainnya itu. Penggemar sepak bola mana pun tahu, betapa Rijkaard dan
Gullit telah menyuguhkan permainan sepak bola kelas satu kepada publik Italia.
Toh, Sacchi tak habis mengerti, mengapa kedua pemain Belanda berkulit hitam
asal Suriname itu masih selalu mengalami perlakuan rasis yang kasar di
stadion-stadion sepak bola Italia.
''Di stadion-stadion kami, budaya olahraga nyaris tak lagi
tersisa,'' kata Sacchi. Tak hanya Sacchi yang merasakan atmosfer rasisme yang buruk di
stadion-stadion Italia. Persatuan Sepak Bola Inggris, FA, malah secara resmi
pernah mengajukan protes keras pada UEFA, atas perlakuan yang diterima salah
satu pemainnya di Stadion Delle Alpi di Turin.
Tatkala bermain dalam pertandingan persahabatan melawan tim
nasional Italia, November 2000, penyerang tengah kesebelasan Inggris yang
berkulit hitam, Emile Heskey, mengalami perlakuan tak mengenakkan. Sepanjang
pertandingan, Heskey tak henti-henti memperoleh cemoohan rasial yang tak pantas
dari para penonton. Setiap ia memperoleh umpan, sorak-sorai rasial itu malah
makin membahana.
Sepekan sebelum kasus Heskey muncul ke
permukaan, sebuah kasus lain yang lebih menghebohkan terjadi. Hingga usai
pertandingan Liga Champions antara klub Italia, Lazio, dan klub Inggris,
Arsenal, Sinisa Mihajlovic, pemain bertahan Lazio asal Yugoslavia, dan Patrick
Vieira, pemain tengah Arsenal asal Prancis, terlihat masih terus saling ngotot
hampir adu pukul.
Keributan yang dimulai di tengah pertandingan
itu tak beroleh sanksi apa pun dari wasit. Tapi, belakangan UEFA menghukum
Mihajlovic dengan larangan tampil di dua pertandingan, karena terbukti
mengeluarkan hinaan rasis kepada Vieira. Kepada pers, Mihajlovic, yang separuh
Serbia separuh Kroasia, mengaku mengumpati Vieira.
''Saya cuma memanggilnya black shit, dan
tak memanggilnya monyet hitam,'' kata Mihajlovic. Menurut Mihajlovic, Vieira
lebih dulu mengumpatnya sebagai gipsi sialan. ''Tapi, ini kan bagian dari sepak
bola,'' katanya. Tak hanya Mihajlovic yang menerima sanksi: UEFA juga mendenda
Lazio US$ 40.000 karena perilaku rasis pendukungnya pada pertandingan di
Stadion Olimpico, Roma, itu.
Teriakan monyet ditujukan langsung
terhadap para pemain sepak bola, dan sejumlah besar penggemar, khususnya di
Lazio, dikaitkan dengan kelompok ultra sayap kanan. Striker Rumania dan Fiorentina Adrian Mutu, salah
satu pemain terbaik dalam liga, berulang kali disebut "orang jipsi"
oleh penggemar lawan. Striker Inter Milan
Zlatan Ibrahimovic, orang Swedia tapi keturunan Bosnia, juga disebut
"jipsi" oleh penggemar Juventus yang berang terhadap dia karena
meninggalkan klub ketika mereka terdegradasi karena pengaturan skor. Para fans
Juve menggunakjan istilah itu karena dia sering pindah-pindah klub dan bukan
karena latar belakangnya.
Pelecehan rasis secara besar-besaran
ditujukan kepada para tamu pemain kulit hitam dalam pertandinghan internasional
lawan Inggris, sementara teriakan monyet dan penghinaan rasial sering terjadi.
Dua musim lalu, penuh dengan kejadian
rasisme, striker Barcelona Samuel Eto`o mengancam akan meninggalkan lapangan
setelah dihina para penonton dalam pertandingan melawan Real Zaragoza.
Imbauan berulang kali dari penguasa
sepak bola dan para pemain kepada para penggemar, serta adanya undang-undang
anti kekerasan, belum lama ini membuahkan hasil setelah bertahun-tahun terjadi
pelecehan rasial terhadap para pemain hitam.
Titik balik terjadi dalam kejuaraan
Eropa dibawah 21 tahun pada 2007 di Belanda, ketika fans Serbia secara langsung
meneriakkan kata-kata monyet terhadap para pemain kulit hitam Inggris saat
pertandinghan grup mereka.
Menghadapi sanksi keras dari UEFA dan
kemungkinan akan dikeluarkan dari semua kompetisi internasional, Serbia
menerapkan undang-undang tegas tentang hukuman terhadap kekerasan dan rasisme
dalam sepak bola.
Klub Diktator Mussolini
Pendukung klub Lazio memang sudah lama dikenal
sebagai kubu paling rasis di antara seluruh kubu pendukung klub-klub Seri A di
Liga Italia. Maklum saja, dulu klub ini adalah klub kecintaan diktator Italia,
Benito Mussolini. Tak mengherankan bila pendukung fanatik kesebelasan ini enak
saja menghina pemain Lazio yang menurut mereka tak pantas mewakili klub
kesayangannya.
Aron Winter, pemain nasional Belanda, adalah
pesepak bola kulit hitam terakhir yang bermain bagi Lazio. Ketika pada 1992
Aron Winter datang ke Lazio, ia disambut sebuah spanduk besar yang dengan
sangat menghina menyebutnya ''Yahudi Negro''. Para pendukung Lazio ini jelas
tak cukup mengenal Winter. Ia sama sekali bukan Yahudi, sebab nama tengahnya
adalah Mohammed.
Liverani pun sempat mendapat tentangan keras
dari tifosi Lazio, ketika manajemen Lazio merekrutnya, langkah inipun agak
dipaksakan untuk menepis citra buruk Lazio sebagai Klub rasis, begitu juga
dengan Manfredini, padahal kedua pemain ini mempunyai darah keturunan Italia.
Pendukung Lazio paling ekstrem adalah kelompok
''Irriducibili'' (Yang Tak Tersentuh). Aksi kelompok ini jelas menunjukkan
kebencian pada kaum kulit hitam dan bangsa Yahudi. Pada derby
(pertandingan klub satu kota) antara Lazio dan AS Roma, spanduk yang dibawa
Irriducibili bertuliskan: ''Auschwitz adalah negerimu --oven adalah rumahmu''.
Boleh jadi, atmosfer kebencian rasial semacam
inilah yang membuat Cafu, pemain belakang AS Roma asal Brasil, ingin segera
hengkang dari Italia. ''Sudah tak ada lagi kegembiraan dalam sepak bola di sini,'' katanya. ''Jika
menemukan klub yang lebih tenang daripada Roma, saya akan langsung pindah.'' Ia
punya alasan kuat untuk merasa tak tenang di Roma.
Sering, tanpa alasan yang jelas, mobil yang
dikendarai Cafu sekeluarga ditimpuki orang. Yang disesalkan Cafu, anaknya yang
masih kecil harus ikut menyaksikan penghinaan rasial yang dialaminya.
''Pokoknya, saya berharap tak akan bertemu lagi dengan orang picik yang selalu
menghina para pemain berkulit hitam,'' katanya.
Saking buruknya atmosfer rasisme di stadion-stadion
sepak bola Italia, Paus Yohannes Paulus II sampai merasa perlu berkomentar
mengutuk aksi-aksi itu. Ketika menerima audiensi beberapa pesepak bola ternama
yang bermain di Seri A Liga Italia, Paus meminta penggemar sepak bola agar tak
menjadikan dukungan pada klub berubah menjadi hinaan bagi pihak lain.
Kebangkitan Fasisme dan Ultrakanan
Sungguh sayang jika semangat berkompetisi
hancur karena perbuatan tak terpuji,'' kata Paus. Toh, ada yang menganggap
kekhawatiran terhadap kebencian rasial ini terlalu berlebihan. Salah satunya
adalah Dino Zoff --mantan kiper legendaris Italia yang kini melatih Lazio.
Musim lalu, sebagai Asisten Presiden Lazio, Zoff terpaksa membayar denda akibat
aksi pendukung klubnya.
Lazio didenda US$ 2.250 karena Irrudicibili
melakukan pelecehan terhadap Bruno N'Gotty, pemain belakang berkulit hitam yang
bermain untuk Venesia. ''Saya tak tahu, apakah hal seperti itu bisa disebut rasisme,'' katanya, ''Ini
kan cuma cara sekelompok orang membuat lelucon. Mereka bisa saja memilih orang
yang terlalu tinggi, terlalu pendek, atau berkulit hitam.''
Tapi, menurut Michael Fanizadeh, periset di
Vienna Institute yang juga koordinator gerakan Football Against Racism di
Eropa, kebencian ras yang terbaca di stadion-stadion Italia memang benar-benar
mengkhawatirkan. Ia menunjuk pertandingan terakhir yang disaksikannya, antara
AS Roma dan Inter Milan, di Stadion Olimpico di musim 2001.
Apa yang diamati Michael Fanizadeh adalah fakta
bahwa suara-suara sumbang bernuansa rasis yang ditujukan pada Clarence Seedorf,
pemain Belanda yang bermain untuk Inter, tak hanya datang dari kaum ultrakanan,
pria-pria skin head. ''Yang jadi masalah, umpatan-umpatan itu juga
datang dari banyak wanita dan anak-anak,'' katanya.
Boleh jadi, kebangkitan rasisme di stadion-stadion sepak bola
Italia adalah cermin dari maraknya kembali fasisme di negeri ini. Partai
Aliansi Nasional, penerus partai Benito Mussolini, misalnya, mulai merebut
perhatian khalayak muda. Partai ini malah sudah pernah memerintah ketika ikut dalam koalisi pemerintahan
Perdana Menteri Silvio Berlusconi, beberapa tahun lalu.
Di Eropa, partai-partai ultrakanan memang
perlahan-lahan mulai memperoleh suara signifikan dalam pemilihan umum. Di Prancis, Italia, dan
Jerman, partai-partai ekstrem kanan ini bisa memperoleh sekitar 10% suara.
Sementara di Austria, Partai Kebebasan pimpinan Joerg Haider malah mengejutkan
dunia karena berhasil merebut tampuk kekuasaan, tahun lalu.
Meski terdapat beberapa kejadian terpisah di
Bundesliga, masalahnya kini lebih meluas di liga lebih rendah. Contoh paling
serius terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini di Jerman pada September 2006
ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan striker Jerman Gerald Asamoah, yang
kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940 dolar AS. Pada Agustus tahun lalu,
kiper Borussia Dortmund Roman Weidenfeller dinyatakan bersalah membuat
pernyataan rasis terhadap Asamoah.
Kawasan Tanpa Kulit Berwarna
Dalam sebuah cerita sampulnya pada 1994, time mencatat betapa bagi
kaum neofasis, sepak bola merupakan lahan paling efektif untuk merekrut anggota
baru. Hal ini, menurut Time, paling jelas terjadi di Inggris. Di
Spanyol, para pemuda ultrakanan juga menggabungkan kekerasan jalanan dan
lambang-lambang neo-Nazi dengan dukungan bagi tim kesayangan mereka.
Di Prancis adalah Jean Marie Le Pen, politisi
ultrakanan, yang mengucapkan kata-kata kasar ketika ''Les Bleus'', tim sepak
bola nasional Prancis untuk Piala Dunia 1998, dibentuk dari pemain-pemain yang
multiras. ''Tim masyarakat pendatang ini tak pantas mewakili Prancis,'' kata Le
Pen. Toh, hasilnya, tim ini merebut Piala Dunia Sepak Bola 1998, dan juga Piala
Eropa 2000.
Le Pen ternyata salah, dan seolah menggali
lubang sendiri bagi karier politiknya. Sejak kemenangan Les Bleus, bintang Le
Pen redup di panggung politik. Tapi, di stadion-stadion, kaum rasis masih belum
berhenti. Stephane Dalmat, pemain belakang berbakat Paris St Germain, misalnya,
masih menjadi bulan-bulanan umpatan rasial, hingga akhirnya memilih hengkang
dari Prancis.
Kasus aksi rasisme terjadi ketika skuad Les Blues Perancis berlaga ke
Lithuania dalam Kualifikasi Euro 2008. spanduk berisi lukisan afrika yang
tertuang dalam warna biru, putih, merah yang merupakan bendera Perancis dengan
tulisan " Selamat datang ke Eropa ". Apabila diperhatikan dengan
saksama, jelas sekali bahwa ini adalah suatu perilaku rasisme yang ditujukan untuk pemain nasional
Perancis yang umumnya berkulit hitam.
Pengalaman Fode Sylla, anggota parlemen Eropa
dan presiden dari SOS Racisme International, lain lagi. Hingga kini, ia masih
terus berjuang membersihkan Stadion Parc des Princes dari kaum Nazi fanatik.
Kaum rasis ini pada setiap pertandingan selalu membuat sebuah kawasan white
only ''Tanpa Kulit Berwarna'' di tribun penonton di belakang salah satu
gawang stadion itu.
Tak hanya di negeri-negeri raksasa sepak bola
Eropa, stadion-stadion sepak bola penuh atmosfer kebencian rasial. Di Turki, 7
tahun lalu, Kevin Campbel, pesepak bola berkulit hitam asal Inggris, mengalami
depresi sehingga harus diisolasi, ketika bergabung dengan klub Trabzonspor.
Sikap para pendukung klub ini yang menyebabkan penderitaan Campbell.
Bayangkan, bukan sekadar tak suka, fans
Trabzonspor menyebut Campbell ''kanibal yang menyangka dirinya penyerang''. Di
Polandia, Oktober tahun 2000, Emanuel Olisadebe, pemain kulit hitam dari klub
Polonia Warsaw, dilempari pisang dan kulit pisang oleh pendukung klub Zaglebie,
ketika pesepak bola kulit hitam ini mencetak gol.
Kesepakatan dengan PBB
Di Budapest, Hongaria, tatkala Ajax Amsterdam
menghadapi klub Ferencvaros dalam
kompetisi sepak bola Eropa, stadion itu penuh teriakan, poster, dan umpatan
rasis, setiap pemain berkulit hitam Ajax memainkan bola. Menurut Tamas Krausz,
sejarawan Hongaria, dalam
Soccer and Racism in Hungary, atmosfer rasis di stadion-stadion Hongaria
tak punya akar dalam
sejarah.
Tapi kini, dalam kompetisi lokal pun marak kebencian rasis. Cuma, korbannya
tak lagi pesepak bola hitam, melainkan pesepak bola --atau pelatih-- keturunan
gipsi dan Yahudi. ''Sepak bola sudah tamat di stadion. Yang ada hanya kekerasan
dan rasisme,'' kata
Tamas Krausz, yang puluhan tahun menjadi pengunjung setia pertandingan sepak
bola di stadion-stadion Hongaria dan negara Eropa lain.
Sepak bola memang tengah menghadapi paradoks
--atau parodi. Sebagai bisnis, olahraga ini kini tumbuh mengglobal dan menghasilkan tak kurang
dari US$ 250 milyar setahun. Tak mengherankan jika 7 tahun lalu, Joseph
Blatter, Presiden FIFA, dengan penuh optimisme menandatangani sebuah
kesepakatan penting dengan Kofi Annan, Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Lewat sepak bola, FIFA berjanji akan
mengampanyekan ''nilai-nilai luhur yang melintasi segala perbedaan sosial,
budaya, dan ras''. Ketika itu, dengan bangga Blatter meyakinkan pada Annan
betapa penting arti olahraga
sepak bola. ''Dunia akan jadi lebih baik jika mencontoh apa yang terjadi di
lapangan sepak bola,'' kata Blatter.
Tapi, belakangan, Blatter terpaksa mengakui, sepak
bola yang dibanggakannya telah berubah. Ancaman rasisme telah menempatkan nilai-nilai luhur
sepak bola dalam
bahaya. Kini, tugas terberat Blatter adalah melaksanakan Pasal 2 Anggaran Dasar
FIFA. ''Yakni menghidupkan komitmen moral bahwa tak boleh ada diskriminasi
sekecil apa pun dalam
olahraga ini,'' kata
Blatter.
Beruntung, tak hanya Blatter yang khawatir dan
mau bekerja menyingkirkan rasisme
dari sepak bola . Setidaknya, kekhawatiran yang sama juga dirasakan Lennart
Johansson, salah satu petinggi komite organisasi FIFA. Salah satu sebabnya,
Johansson lahir pada 1929, dan mengalami masa kebangkitan Nazi.
''Saya juga menyaksikan Dachau (salah satu kamp
konsentrasi Nazi --Red.), dan apa yang terjadi jika kita diam ketika
berlangsung sesuatu yang salah,'' katanya. Maka, Johansson pun mendesak UEFA
untuk memperkeras sanksi bagi klub-klub yang pendukungnya menunjukkan aksi
rasialis. Desakan Johansson berhasil membawa perubahan.
Sejak Natal tahun 2000 lalu, UEFA memutuskan
memperkeras sanksi bagi klub yang melanggar ketentuan antirasial dan kekerasan.
Klub akan diganjar denda yang lebih besar. Malah, UEFA mengancam akan mencoret
sebuah klub dari kompetisi Eropa, dan menutup stadionnya, jika perilaku salah
itu terus berlanjut.
''Di Swedia, negeri kelahiran saya, siapa pun
diizinkan memakai segala atribut neo-Nazi. Tak ada yang akan melakukan
apa-apa,'' kata Johansson. Baginya, hal ini salah. Pembunuhan Hermansen di Oslo
seharusnya menyadarkan banyak pihak. ''Anak itu begitu percaya pada sepak bola,
tapi mati sia-sia. Kalau kita tak bertindak, tragedi Dachau bisa terulang
lagi,'' katanya.
Tapi, ancaman itu berkembang kembali seiring
merebaknya kasus rasisme
di Spanyol, banyak pemain kulit hitam jadi korban pelecehan rasial, Bahkan
tidak saja ditunjukan penonton di Stadion tapi telah merasuki pelatih selevel
Luis Aragones pelatih timnas Spanyol.
Betapa tidak, dalam semangat salah satu pemainnya, Reyes
terlebih dahulu mengejek Henry , Henry diejek bahwa pemain kulit hitam
kualitasnya lebih rendah dari Reyes.
Hukuman yang sangat ringan atas pelaku rasisme ditengarai sebagai
pendorong sikap rasis penonton sepak bola di Spanyol untuk tumbuh dan
berkembang.
Pemain terbaik Afrika yang memperkuat
Barcelona, Samuel Eto’o, juga kerap kali terkena ejekan bernada rasis. Eto’o
tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan melalui gol-gol yang selalu
dirayakannya dengan menari-nari seperti, monyet.
Ketika Piala Dunia mau dimulai sekelompok Rasis
dari Italia mengajak rekan-rekannya dari negara eropa lainnya untuk mensweeping
pendukung dari negara timur tengah, tapi rencana itu tak terlaksana konon
kabarnya para Neo-Nazi Jerman tak setuju dengan ide dari kelompok rasis Italia,
sebab bagi Neo-Nazi negara seperti Iran merupakan teman bagi mereka artinya
musuhnya musuh adalah teman, Bahkan Neo-Nazi setuju dengan pendapat Ahmadinejad
bahwa tak ada Holocaust di zaman Rezim Hitler itu cuma mitos belaka.
·
Rasisme dalam Persepakbolaan Indonesia
Dimulai
dari persepakbolaan Indonesia, sikap rasisme bisa dipastikan terjadi di setiap pertandingan Liga
Indonesia yang digelar. Awal dari Liga Indonesia 2007 saja dinodai dengan aksi rasisme yang diluncurkan
terhadap pemain Persipura. Selain kejadian itu, tindakan rasisme kali ini menimpa
mantan pemain Persib yang kini membela Arema malang yakni Alexander Pulalo yang
mengalami dua kali perlakuan rasisme. Pada tanggal 25 Maret 2007 tepatnya hari Minggu di
Stadion Gelora Delta, Pulalo mendapatkan perlakuan tidak berkenan dari
pendukung Deltras dan pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2007 dari para pendukung
PSIM di Stadion Mnadala Krida Yogyakarta.
Setiap
kali pemain yang berposisi di wing bek kiri itu menggiring bola, para pendukung
Deltras dan PSIM selalu meneriaki Pulalo dengan tiruan suara seperti kera.
Untungnya, insiden tersebut tidak lantas membuat Pulalo terpancing untuk
melakukan tindakan balasan terhadap para supporter tersebut. Bisa dibayangkan,
apabila Pulalo sampai terpancing dengan tindakan rasisme tersebut, hal ini mungkin akan
berbuntut kerusuhan. sepertinya aksi-aksi seperti itu tidak disadari oleh para
supporter Indonesia sebagai suatu tindakan rasisme.
Sungguh,
tidak semestinya hal seperti ini terjadi. padahal FIFA sebagai Federasi Sepakbola
Dunia melarang dengan tegas aksi rasisme dalam dunia sepakbola. Selain dari FIFA perhatian terhadap
aksi rasisme juga
dilontarkan ole Michel Platini yang bertindak sebagai Presiden UEFA. Beliau
telah memperkenalkan program egaliterisme dalam dunia sepakbola. Dimana program
ini berbicara bahwa masing-masing individu mempunyai hak yang sama. Yaitu
setiap individu berhak menonton, menikmati atau sekedar berkiprah dalam dunia
sepakbola, tetapi dengan syarat semua itu dilakukan tanpa adanya gangguan yang bersifat
diskriminasi rasial atau perbedaan gender.
Di
Indonesia sendiri PSSI dan BLI lewat Tim Komisi Disiplinnya harus bertindak
tegas untuk urusan yang satu ini. Jangan pernah menganggap bahwa masalah rasisme adalah sesuatu
yang sepele. rasisme
tidak sama sekali mencerminkan budaya bangsa kita, apalagi negara kita
mempunyai semboyan " Bhinneka Tunggal Ika " yang mempunyai makna
" berbeda-beda tetap satu jua ". FIFA juga sudah memprogamkan
penghapusan rasisme
dalam persepakbolaan lewat slogannya " Let's Kick Racism Out of Football
".
Sekarang
tinggal PSSI dan BLI harus benar-benar merealisasikan slogan FIFA tersebut
untuk menyingkirkan masalah rasisme
dalam dunia sepakbola negeri kita. Atau PSSI masih saja betah berkutat dengan
masalah internal organisasi dan kesemrawutan Liga Indonesia?. Marilah kita
sebagai supporter, ikut turun untuk mendukung anti rasisme dalam persepakbolaan negeri ini. Kita
harus berpikir, bagaimana kalo aksi rasisme menimpa diri kita sendiri?. Dengan mempunyai pikiran
seperti itu sudah menjadi awal tindakan kita sebagai supporter dalam memerangi rasisme, dan mudah-mudahan
sikap rasisme
benar-benar terhapus di persepakbolaan negeri kita bahkan di dunia. PSSI dan
BLI juga pasti akan mulai memperhatikan masalah rasime dan tidak memandangnya
sebelah mata.
E. Hukuman
Pelaku Rasisme
Para pemain yang mengeluarkan
pernyataan-pernyataan bernada rasis bakal menghadapi larangan bermain dalam lima pertandingan.
Sementara para pesepakbola yang terbukti bersalah melakukan diving (aksi
pura-pura) akan dilarang bermain setidaknya dalam dua pertandingan berdasarkan peraturan
baru yang diumumkan Uni Sepak Bola Eropa (UEFA), kemarin.
Paket peraturan baru UEFA itu mengemukakan
perintah larangan tiga pertandingan dengan dua partai tambahan bagi setiap
pemain yang menghina martabat kemanusiaan dari seseorang atau satu kelompok
dengan cara apa pun, termasuk alasan warna kulit, ras, agama atau asal etnis.
Klub-klub yang para penggemarnya terlibat dalam tindakan rasis dan
diskriminasi, akan menerima suatu denda minimal 19.000 euro (24.230 dolar AS).
Untuk pelanggaran yang lebih berat, UEFA akan menjatuhkan hukuman seperti
memainkan pertandingan di stadion tertutup.
UEFA juga menyatakan setiap propaganda ideologi
yang bersifat ekstremis dilarang dan boleh jadi akan mengakibatkan pertandingan
yang berhadiah itu batal, menghadapi pengurangan poin atau diskualifikasi dari
kompetisi.
Mereka yang melakukan pertandingan dengan baik
menjadi semakin khawatir mengenai rasisme dalam
olahraga. Federasi
Sepak Bola Internasional (FIFA) memperingatkan, asosiasi nasional yang gagal
memberlakukan peraturan baru secara keras dan ketat dalam menghadapi masalah rasisme, akan diskors.
Sebagai wujud nyata
dari peraturan yang dibuat UEFA itu terlihat di Bundesliga Jerman pada September 2006 ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan
striker Jerman Gerald Asamoah, yang kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940
dolar AS. Pada Agustus tahun lalu, kiper Borussia Dortmund Roman Weidenfeller
dinyatakan bersalah membuat pernyataan rasis terhadap Asamoah. Kemudian pada Liga Italia Serie A, Lazio didenda US$ 2.250 karena Irrudicibili melakukan pelecehan
terhadap Bruno N'Gotty, pemain belakang berkulit hitam yang bermain untuk
Venesia.
Ejekan Rasial
Selama Piala Dunia 2006, para pemain Prancis
menduga mereka diejek secara rasial oleh para pendukung Spanyol. Tahun lalu,
fans Real Zaragoza dan Racing Santander melakukan pelecehan rasial terhadap
pemain depan Barcelona, Samuel Eto'o, selama berlangsungnya pertandingan Liga
dan mereka kemudian didenda.
Rangers juga didenda UEFA karena
teriakan-teriakan sektarian oleh para pendukung mereka pada suatu pertandingan
Liga Champions melawan Villarreal.
Sebagai bagian dari peraturan keras dan ketat itu, para pemain yang
berusaha ''menipu'' wasit dengan melakukan diving atau aksi berpura-pura
terluka untuk mempengaruhi keputusan wasit akan dilarang bermain dalam dua pertandingan.
Namun peraturan baru tersebut memperkuat posisi bahwa suatu keputusan wasit di
lapangan tetap final.
Hanya konsekuensi dari suatu keputusan wasit
kemungkinan harus ditinjau ulang jika melibatkan suatu kesalahan nyata seperti
identitas yang keliru.
Jika suatu klub memiliki lima pemain atau lebih yang terkena kartu
kuning dalam satu
pertandingan yang sama, klub itu bisa dihukum berdasarkan peraturan baru
mengenai ''tindakan yang tak patut dari suatu tim''. (rtr,A7-31).
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Arti olahraga adalah aktivitas untuk melatih tubuh seseorang, tidak
hanya secara jasmani tetapi juga rohani, dan bertujuan untuk mencapai prestasi
yang setinggi-tingginya
·
Rasisme adalah
suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang
menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan
pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan
memiliki hak untuk mengatur yang lainnya
·
Perbedaan dan keragaman
manusia ternyata ditafsirkan
secara salah. Tak pelak, kalau dalam rentang sejarah muncul "klaim"
terhadap manusia yang berkulit hitam dengan "cap" sebagai manusia
yang bodoh, kurang beradab dan terbalakang. Sejarah akan pembantaian serta pembunuhan
secara kejam oleh tentara Nazi Jerman terhadap orang Yahudi, juga sejarah kelam
orang kulit hitam di bawah rezim rasis di Amerika Selatan pada era Jim Crow,
dan di Afrika Selatan pada era rezim Apartheid setidaknya menjadi bukti sejarah
gelap rasisme.
·
Rasisme bisa diartikan sebagai paham diskriminasi
suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri
fisik umum untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu jelas bermakna sangat
merugikan bagi si korban. Sangat disayangkan itulah yang terjadi dalam dunia
sepakbola Indonesia dan mancanegara.
·
Hukuman bagi pelaku rasisme adalah klub-klub yang para penggemarnya terlibat dalam tindakan rasis dan
diskriminasi, akan menerima suatu denda minimal 19.000 euro (24.230 dolar AS).
Untuk pelanggaran yang lebih berat, UEFA akan menjatuhkan hukuman seperti
memainkan pertandingan di stadion tertutup, sebagai wujud nyata adalah ketika penggemar Hansa Rostock melecehkan striker
Jerman Gerald Asamoah, yang kelahiran Ghana dan klub itu didenda 30,940 dolar
AS.
B. Saran
Bagi semua pelaku olahraga baik itu pemain, supporter,
pelatih, manajer, dll hendaknya menyadari bahwa rasisme itu adalah suatu perbuatan
yang dapat mengakibatkan perpecahan, dan hal itu sangat menyakitkan bagi korban
akibat pelecehan rasisme. Oleh sebab itu “Let's Kick Racism Out of Our Life” singkirkan rasisme dari kehidupan kita. Dan juga
bagi pihak-pihak berwenang hendaknya member sanksi yang berat bagi pelaku
rasisme, mengingat dampak yang ditimbulkan akan sangat berbahaya.
DAFTAR RUJUKAN
-------. 2006. Hukuman Berat Bagi
Pelaku Rasisme. (Online), (http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/02/ora19.htm, diakses pada 17 April 2009).
-------. 2007. Rasisme dalam
Sepakbola. (Online), (http://athos666.multiply.com/journal/item/5/Rasisme_Dalam_Sepak_Bola.html, diakses pada 17 April 2009).
-------. 2008. Rasisme dalam
Kaitan Olahraga Di Eropa.(Online), (http://www.antara
news.com/article/2007/rasisme-dalam-kaitan-olahraga-di-eropa/opi07.html,
diakses pada 17 April 2009).
-------. 2008. Rasisme di Stadion
Sepakboa. (Online), (http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3379993,00.html, diakses pada 17 April 2009)
-------. 2009. Rasisme.
(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme, diakses pada 17 April 2009).
Dwicahyo. 2008. Penjas, Olahraga, atau Bermain Ya?. (Online), (http://onopirododo.wordpress.com/2008/11/14/pendidikan-jasmani-olahraga-atau-bermain-ya/, diakses pada 03April 2009).
Gigie, Deu’. 2009. Rasisme dalam
Dunia Sepakbola. (Online), (http://deugigie.blogspot.com/2009/03/rasisme-dalam-dunia-sepakbola.html, diakses pada 17 April 2009).
Mursidi, Nur. 2006. Menelusuri
Jejak Rasisme. (Online), (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/20/opi06.html, diakses pada 17 April 2009).
Pratama, Wahyudi. 2005. Menyikapi
Rasisme. (Online), (http://first-things-first.blogspot.com/2005/09/menyikapi-rasisme.html, diakses pada 17 April 2009).
Rachim, Angga Aulia. 2007. Definisi Olahraga??. (Online), (http://anggaauliarachim.wordpress.com/2007/10/24/23/, diakses pada 03 April 2009).
Roesdiono, Wiranto. 2009. Suara
Hati (Rasisme). (Online), (http://ranrose.multiply.com/journal/item/74, diakses pada 17 April 2009).
Soeroto, Totok. 2006. Dunia Tanpa
Diskriminasi dan Rasisme. (Online), (http://soeroto.multiply.com/journal/item/6, diakses pada 17 April 2009).
1 komentar:
wes pa guru is good
Posting Komentar